Merintis Kemakmuran Hijau di DAS Katewel
Sebagian besar penduduk lokal adalah petani dan peternak. Pemenuhan kebutuhan harian dan sumber pendapatan penduduk diperoleh dari dua sektor itu. Tanaman yang banyak dikembangkan adalah padi, jagung, kacang-kacangan, ubi-ubian dan sayur-sayuran (holtikultura). Untuk kebutuhan pangan, hasil padi dan jagung umumnya bisa tercukupi, meskipun masih sering terjadi kekurangan pangan.
Namun, masih banyak penduduk yang tidak tercukupi kebutuhan nutrisi dari sayur-sayuran. Selain itu, suplai sayur-sayuran di pasar lokal sebagian besar didatangkan dari luar Sumba. Padahal tanah Sumba punya potensi besar untuk produksi sayur-sayuran. Di sektor peternakan, kesulitan utama pengembangan ternak adalah kecukupan volume dan nutrisinya. Sementara pakan komersial cukup mahal dan bisa digunakan akan mengurangi margin keuntungan penduduk.
Atas dasar ini maka YHS bergabung dalam Konsorsium Pembangunan Berkelanjutan, yang terdiri atas 9 NGO lokal (2 dari Timor dan 6 dari Sumba) untuk melakukan pengembangan holtikultura dan pakan ternak di tiga daerah lairan sungai di Sumba (Katewel, Karendi dan Kambaniru). CIS Timor adalah ketua konsorsium yang melakukan kontrak dengan MCA-Indonesia untuk durasi proyek 18 bulan (Juli 2016-Desember 2017).
Untuk DAS katewel, YHS dipercaya sebagai koordinator DAS dan bekerjasama dengan Yayasan Sosial Weemaringi untuk mendampingi 10 desa yakni Karuni, Loko Kalada, Bondo Boghila, Tanggaba, Totok, Weemanada, Weepatando, Mali Mada, Weepaboba dan Puu Poto.
Pengembangan hortikultura dilakukan dengan teknik vertikultur, yang sebagian besar menggunakan bambu sebagai media tanam. Pada akhir proyek, ada 100 keluarga yang menerapkan hal ini pada 515 media tanam vertikultura dengan panjang 1-3 meter (dengan menanam daun bawang, seledri, kangkung, bayam, brokoli dan sayur putih) untuk 10 desa target. Teknik ini sangat cocok pada lahan berbatu dan tidak rata. Lainnya menanam pada bedengan berupa kangkung, lombok, tomat dan bayam. Untuk mendukung pertanian selaras alam, para petani dilatih membuat pupuk organik dan mereka menghasilkan pupuk bokasi sebanyak 95 ton.
Untuk pengembangan pakan ternak, 900 keluarga (26 kelompok di 10 desa) pada lahan seluas 1.125 are. (untuk demplot, petani menanam 3.450 stek pada lahan seluas 249 are). Untuk jenis pakan lain, lamtoro teramba, mereka telah menanam 46.612 anakan pada lahan seluas 13,1 hektar.
Sedangkan pengembangan silvikultur, ada 200 keluarga (10 kelompok di 10 desa) yang menanam sengon 9.051 pohon dan kaliandra 12.823 pohon (anakan yang tumbuh bagus sebanyak 1.657 untuk sengon dan 10.421 untuk kaliandra).
Inisiatif lain (di luar desain proyek) yang dilakukan adalah melatih penduduk membuat mikro organisme lokal (MOL) untuk mendukung proses fermentasi makanan babi. Hasilnya, penerima manfaat (beneficiaries) memproduksi 700 liter. Kegiatan ini sangat bermanfaat bagi penduduk karena tidak menggunakan kayu bakar (mengurangi penebangan kayu dan emisi karbon), makanan babi olahan dengan MOL dapat disimpan beberapa minggu, mengurangi beban kerja penduduk khususnya ibu-ibu (tidak mencari kayu dan memasak makanan babi).
Beberapa kegiatan telah direplikasi secara luas, khususnya teknik vertikultur untuk pengembangan hortikultura (hemat air dan rendah emisi serta wilayah brbatu dan berbukit) dan aplikasi MOL untuk pengolahan makanan babi. Ke depan, YHS akan mereplikasi praktek baik ini di wilayah lain. Dan juga, beberapa kelompok potensial akan didampingi paska proyek sehingga usaha-usaha yang sudah dimulai dapat diperluas skala usaha, ditingkatkan kualitas produk, didorong pengolahan dan pemasaran hasil agar mendapatkan nilai ekonomi yang lebih tinggi.